Fieldtrip Bondowoso usai UAS Semester 2

Berwisata bersama melepas penat bersama teman Agroteknologi 2015!

Monas kita kejar

Ibukota pun diraih

Festival Reog Nasional 2016 Ponorogo

Kontingen Universitas Jember

Lomba Tari Petik Kopi 2016

Delegasi Fakultas Pertanaian

Praktikum Pembiakan Tanaman

Belajar teknik mencangkok daun

Minggu, 28 September 2014

CERPEN Terbaru & Terbaik 2014 Bertema Kotaku

 TARUHAN
“Cepot Cepot!” itulah kata yang ku dengar setiap di kelas. Aku sering diejek temanku dengan nama ‘Cepot’, sebuah nama yang diambil dari tokoh pewayangan Jawa. Padahal seharusnya aku lebih ganteng daripada Cepot. Saat ini aku sekolah di SDN Manisrenggo Kediri, tepatnya kelas 6.
                Aku tinggal di desa yang bernama Manisrenggo. Sebuah desa kecil yang terletak di pinggiran kota Kediri. Aku bersyukur tinggal di Kota Kediri, karena penduduknya yang ramah serta suasana alamnya yang masih terjaga. Udara yang sejuk, suara kereta api yang melewati samping rumahku telah menjadi nilai plus desaku ini. Apalagi saat liburan sekolah seperti ini, banyak teman yang mengajaku bermain.
                Setelah aku selesai sarapan, tiba-tiba terdengar suara yang memanggilku.
                “Cepot! Cepot! Main yuk!” teman-temanku mengajak aku bermain.
                “Main apa?” jawabku.
                “Main petak umpet di kebun” balas Bima, temanku sekelas juga.
                Aku pun meminta ijin orang tuaku. Setelah diijinkan, aku segera bergegas berangkat bermain dengan teman-temanku.
                Setelah tiba di kebun samping rumahku. Segeralah permainan dimulai, ternyata temanku  bernama Bayu lah yang jaga pertama. Aku dan teman-temanku segera mencari tempat persembunyian yang paling aman.
                Ternayata ada sebuah tumpukan jerami yang nditutupi oleh terpal berwarna biru. Aku bersama kedua temanku segera bersembunyi dibalik jerami itu. Tak ku sangka, temanku yang bernama Edo justru kentut didalam persembunyian. Aku dan seorang temanku berusaha menahan bau yang tidak sedap itu.
                Namun aku pun tak kuasa menahan aroma kentut Edo. Baunya pun seperti telur yang sudah membusuk selama seminggu. Aku pun keluar dari persembunyian, tak lama kemudian temanku Bima juga menyusul keluar. Kami berdua muntah-muntah  disamping jerami tersebut. Tetapi temanku yang lainya justru menertawakanku sampai terbahak-bahak.
                Aku pun sangat kesal, aku tak mau lagu bermain petak umpet. Tapi, temanku justru menertawakan aku lagi. Mereka tertawa karena melihat wajahku yang lucu saat kesal. Aku pun langsung menutupi wajahku dengan kedua tanganku.
                “Hai Bud, wajahmu lucu sekali” kata Edo.
“lucu kenapa?” balasku, sambil menutupi muka.
“wkwkkakak” Edo dkk justru tertawa semakin keras.
                Setelah selesai menertawakan aku, kemudian mereka mengajakku pergi memancing. Akupun meng-iyakan ajakan mereka. Karena hobbyku adalah berkebun, memancing dan bermain di alam terbuka. Namun, Edo pulang dahulu untuk mengambil pancingnya.
                Sambil menunggu Edo mengambil pancingnya, aku dan teman-temanku mencari tebu. Saat cuaca panas begini memang enaknya makan tebu. Di desaku banyak tebu, akupun tinggal mengambilnya saja. Sedangakan temanku yang bernama Bima yang memotongya. Lalu edo pun datang sambil membawa pancing lengkap dengan umpanya. Umpan yang sering aku gunakan ialah cacing sawah.
                Aku dan teman-temankupun berangkat memancing sambil membawa tebu. Letaknya tak jauh dari tempatku bermain petak umpet tadi. Tapi tempat yang akan ku gunakan untuk memancing ini merupakan kolamnya orang. Sehingga kami pun harus bersembunyi untuk dapat memancingnya. Akhirnya, kami menemukan tempat yang tepat untuk bersembunyi dan memancing.
                Letaknya di pojokan sawah di bawah pohon bambu pinggir kali. Kami harus tidak boleh gaduh supaya tidak ketahuan Pak Eko, pemilik kolam ikan ini.  Meskipun di pinggiran kota,  kali ditempatku airnya masih jernih. Kemudian kami pun segera memancing. Edo yang memulai mancingnya kali ini. Setelah menunggu beberapa menit, dia pun strike. Dia mendapat ikan nila yang ukuranya sebesar genggamanku.
                Setelah melepaskan kail dari mulut ikan, kini giiranku untuk memancing. Sambil menunggu umpanku disambar ikan, kami memakan tebu yang aku bawa tadi. Untuk mengupas tebu, kami tak perlu menggunakan pisau. Melainkan dengan gigi saja, namun kali ini Bima yang bertugas mengupas tebu tersebut. Rasanya manis dan segar, cocok dimakan saat cuaca panas begini.
                Sambil memakan tebu, kami ngobrol tentang apa saja. Karena terlalu asik ngobrol, kami pun tak sadar bahwa suara kami terdengar Pak Eko. Kami pun panik, teman-temanku ingin segera pergi. Namun disaat bersamaan umpanku disambar oleh ikan yang cukup besar. Aku pun bingung, jika aku pergi maka akin sia-sia ikan yang aku pancing ini. Namun, jika aku tidak pergi maka Pak Eko memergoki akulah yang memancing ikanya secara sembunyi.
                Aku pun memilih untuk tetap bertahan ditempat bersama Bima. Sedangkan Edo dan teman-temanku lainya memilih kabur. Mereka kabur dengan menyeberangi kali, sehingga mereka basah semua. Lalu Pak Eko datang menghampiriku, dengan muka yang cukup menyeramkan. Pak Eko langsung menjewer aku dan Bima.
                “Kenapa kamu disini?” kata Pak Eko, sambil menatapku.
                “Diajak mancing teman-teman pak, ampun pak” jawabku sambil membawa pancing.
                “Ini tempat bukan untuk mancing! Dengar kamu?” balas Pak Eko dengan nada marah.
                “Iya pak, kami janji nggak akan ngulangi lagi” jawab Bima sambil menangis.
                “Ya sudah, cepat pulang sana! Jangan kamu ulangi lagi!” balas Pak Eko.
Lalu Aku pun mengembalikan ikan yang sudah dipancing tadi ke kolam Pak Eko. Aku dan Bima segera pulang. Namun aku tidak berani pulang ke rumah. Aku pulang ke rumah kakek dan nenekku. Saat itu waktu masih sore, sehingga aku mampir ke rumah kakek dan nenekku sebentar.
Rumahnya cukup dekat dengan tempat aku mancing tadi. Meskipun cukup tua, tapi mereka masih cukup kuat untuk bercocok tanam. Ternyata kakek dan nenek berada di sawah depan rumahnya. Mereka sedang menanam jagung, hatiku yang sedih kembali senang setelah bertemu kakek dan nenek.
Akupun segera membantu menanam jagung. Sambil membantu mereka, aku bercerita tentang kejadian yang baru saja aku alami.
“Nek, aku tadi dimarahin Pak Eko di kolamnya” kataku.
“Lha kenapa to le?” saut kakekku.
“Mancing di kolamnya Pak Eko, hehe” balasku.
“Ya jelaslah, kan itu tidak untuk memancing. Pasti kamu tadi dijewer” jawab nenekku.
“Iya nek. Ternyata memancing itu susah ya kek?” Sambil menanam jagung.
“Sama seperti hidup le. Hidup itu memang sulit, tapi jangan kamu buat sulit hidupmu itu.” Jawab kakekku .
“Jadi memancing itu sebenarnya tidak sulitkan? Balasku.
                “Iya le” kata kakekku
                Lalu sambil menanam jagung. Kakekku bertutur, “Budi, jagung itu harus kamu tutup dengan tanah agar tidak dimakan ayam. Jagung kecil itu tertutup tanah, ia harus menanggung beban tanah yang menimbunya. Namun, karena kau tutup itulah jagung itu akan tumbuh dan berbuah. Lalu hasilnua bias kita makan dan jual.” Aku pun mendengarkanya sambil menghayati
                Kakek melanjutkan nasehatnya. “jadilah kamu bibit yang baik, bersabar atas kesulitan yang ada. Saat besar nanti pasti akan mendapatkan buah yang baik.” Akupun menunduk kebawah.
                Lalu nenekku pun menambahi, “bila jagung tumbuh nantinya, siram dan pupuklah. Begitu pula hidupmu, saat kau besar dan sukses, kamu harus disiram dan dipupuk. Siramilah hidupmu dengan ayat-ayat Al-Quran, agar hidupmu tetap segar. Pupuklah hidupmu dengan cara bergaul dan bersahabat dengan orang-orang yang baik. Terkadang pupuk kandang itu aromanya tak enak, tetapi itu akan menyuburkan tanahmu nanti. Nanti kau akan dihujat, disakiti dan dikritik oleh temanmu. Anggaplah itu seperti pupuk kandang.”
                Lalu setelah aku dinasehati oleh nenek dan kakak. Karena waktu telah menjelang petang. Jika aku tidak segera pulang, maka mama akan memarahiku. Saat pulang aku berakting seperti tidak ada apa-apa. Mamaku menanyakan aku kenapa pulang sore. Langsung kujawab saja aku tadi main di rumah nenek dan kakek.
1 Tahun kemudian aku telah menginjak bangku SMP
                Senangnya sekolah ditingkat menengah pertama, di bangku SMP pula aku mulai mengenal cinta. Awalnya pacarku ini adalah temanku saat TK dulu, namun saat SD dia bersekolah di Surabaya karena pekerjaan orang tuanya. Namun kembalai ke Kediri karena biaya hidup di Surabaya terlalu mahal.
                Entah kebetulan atau tidak, saat MOS ia satu kelas denganku. Saat itulah aku mulai merajut pertemanan yang telah lama terputus. Dia bernama Dheya, pipinya tembem dengan mata yang agak sipit. Namun, saat pembagian kelas aku tidak sekelas lagi denganya. Tapi hal itu tidak memutuskan pertemananku denganya. Saat ada kesulitan belajar, kami berdua sering belajar kelompok.
                Tetapi, saat itu ia masih mempunyai pacar. Akupun berpikir masih kecil kok sudah pacaran, emang pacaran itu gimana ya? Saat belajar kelompok, sambil menangis Dheya bercerita kepadaku tentang pacarnya yang sudah tidak perhatian kepadanya. Kata Dheya, pacarnya sudah memiliki pacar baru. Dia mengetahuinya, dari teman pacarnya itu. Akupun hanya bisa menghiburnya, diriku kurang berani memberi saran. Karena aku merasa kurang berpengalaman, padahal aku ingin memberi naseha kepada Dheya.
                Hingga akhirnya dia putus dengan pacarnya seminggu kemudian. Saat bermain ditaman, ia bercerita kepadaku sambil menangis. Penyebab putusnya selain pacarnya selingkuh, jarak juga mempengaruhi hubunganya. Atau istilah sekerang ialah LDR.
                Tiba-tiba saja ia bersenden dipundakku. Akupun langsung kaget, padahal ia kan bukan siapa-siapa aku. Lalu Dheya barkata kepadaku
                “Bud, kamu sahabatku kan. Hibur aku dong. Huhu.” Ucap Dheya sambil menangis
                “Aku mau jadi sahabat kamu kalo kamu tidak cengeng seperti ini. Hidup itu memang susah, tapi jangan kau buat susah hidupmu. Sahabatku itu harus ‘strong’, tidak mudah mengeluh dikondisi apapun. Janji ya?” Balasku sambil mengusap air matanya.
                “Iya deh, aku gk bakal mengeluh deh. Kan sudah strong, aku akan strong jika ada kamu disampingku. Hehe” jawab Dheya dengan sambil bercanda.
                “ohhh, hahaha. Ingatya, harus strong” balasku sambil sedikit gugup.
                Hari demi hari aku lewati, persahabatnpun terus aku jalin dengan Dheya. Bahkan semakin lama, semakin dekat kita. Aku mulai ada rasa lebih denganya. Namun situasi ini aku alami setelah aku duduk dibangku kelas 9 SMP. Lalu akupun bercerita kepada Edo, lalu dia menyarankan untuk berpacaran saja dengan Dheya.
                Tapi, keesokan hatinya Dheya bilang kepadaku bahwa mantanya telah pindah ke Kota Kediri juga. Akupun merasa biasa saja saat mengetahui kabar itu. Ternyata, mantan Dheya tersebut berpacaran dengan tetanga samping rumahku tepat. Aku mulai merasa gundah saat mendengar kabar itu.
                Rencana awalku untuk menembak Dheya pun aku tunda dulu. Ternyata usia Dheya 5 bulan lebih tua daripada aku. Aku semakin gundah dan galau. Pikiranku kemana-mana. Aku berpikir jika kekasih perempuan yang umurnya lebih tua dari laki-laki maka egonya pun masih tinggi. Disisi lain, pacar tetangga dekatku adalah mantan dari Dheya. Padahal, hubunganku sangat dekat sekali dengan Dheya.
                Aku terus memikirkan hal itu, setiap malam aku mencari tindakan yang tepat untuk mengungkapkan perasaanki ini. Hingga pada suatu malam aku bermimpi dipatok ular. Menurut orang-orang, mimpi digigit ular berarti akan menemukan jodoh. Mimpi itu semakin membuat aku mantap bahwa Dheya adalah jodohku.
                Lalu saat aku belajar kelompok, aku menyelipkan kertas dibukunya yang bertuliskan ‘Dheya, I love you’. Saat Dheya membuka buku, dia langsung terkejut. Lalu kami berdua saling bertatap muka. Kemudian Dheya menganggukkan kepalanya yang berarti dia mau menjadi pacarku.
                Aku merasa senang sekali, akhirnya aku bisa merasakan apa cinta itu sebenarnya. Lalu, akupun sering bermain dengannya. Bahkan suatu pagi, aku mengajak Dheya jogging dengan tetanggaku. Tetanggaku ini mengajak pacarnya, yang merupakan mantan dari Dheya. Akhirnya hubungan Dheya dan mantanya semakin membaik.
                Aku dan tetanggaku bertaruhan tentang cinta. Siapa yang hubunganya tidak langgeng, maka yang tidak langgeng hubunganya harus menraktir makanan diwarung depan rumahku. Kami berempat setuju dengan taruhan tersebut.

Cerita ini buatan saya sendiri. Jadi mohon mencamtumkan sumber saat mengcopasnya. thanks
follow: @Ilham_boedi77 
mohon koreksinya